OTT KPK Deretan Panjang, Terkait Biaya Besar Pemilihan Kepala Daerah



Medan | Elindonews.my.id


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di wilayah Riau memiliki daftar panjang kepala daerah yang terjerat kasus korupsi lewat Operasi Tangkap Tangan (OTT) sejak lembaga itu berdiri.


Ini Salah satu sosok yang digadang-gadang ikut diciduk, yaitu Gubernur Riau Abdul Wahid. Dimana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki daftar panjang kepala daerah yang terjerat kasus korupsi melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) sejak lembaga tersebut berdiri. Dengan Data yang menunjukkan bahwa fenomena ini terus berulang, penangkapan terbaru menambah jumlah total yang signifikan pada lembaga Anti rasuah (Komisi Pemberantasan Korupsi), Jumat (7/11/2025) 


Allen Sitohang, SH Anggota Panwas tahun 2017-2018 juga Anggota Bawaslu Kabupaten Batubara Tahun 2018-2023 dan Saat Ini ASN Bawaslu Pengangkatan Tahun 2024 serta merupakan tokoh pemuda, memberikan tanggapan perilaku kepala daerah korupsi akibat beban berat terkait anggaran politik yang dilakukan, beban berat biaya politik di Indonesia merupakan salah satu faktor pendorong utama terjadinya perilaku korupsi oleh kepala daerah. 


Berbagai kajian, termasuk dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) termasuk Indonesia Corruption Watch (ICW), bahwa mereka menyimpulkan adanya korelasi kuat antara mahalnya biaya Pada Pemilihan di saat mencalonkan diri dalam Pimilihan Kepala Daerah dengan praktik koruptif saat menjabat. 


Beberapa poin penting terkait kenapa hal terjadi :

Mahar Politik dan Biaya Kampanye: Calon kepala daerah sering kali harus mengeluarkan dana miliaran rupiah (diperkirakan antara Rp50 miliar hingga Rp200 miliar untuk tingkat bupati/wali kota) untuk biaya kampanye, logistik, dan "mahar politik" kepada partai pengusung.

Ketergantungan pada Sponsor: Karena gaji resmi kepala daerah tidak sebanding dengan modal yang dikeluarkan, para calon yang terpilih cenderung mencari cara untuk mengembalikan modal tersebut. 


Hal ini sering kali yang melibatkan ketergantungan pada donatur atau sponsor swasta selama masa kampanye, yang mengharapkan "balas jasa" setelah calon menjabat.

Bentuk "Balas Jasa" dan Konflik Kepentingan: "Balas jasa" ini umumnya berupa pemberian izin bisnis, kemudahan dalam proses tender proyek pemerintah, atau bentuk keuntungan finansial lainnya, yang menciptakan konflik kepentingan yang berujung pada korupsi.

Penyalahgunaan Wewenang: Kepala daerah yang korup akan menyalahgunakan kewenangan dan "politik anggaran" untuk meraup keuntungan pribadi atau kelompok, yang merusak tata kelola pemerintahan daerah secara keseluruhan. 


Meskipun biaya politik yang tinggi adalah pemicu signifikan, faktor lain seperti lemahnya penegakan hukum, minimnya integritas, serta kurangnya transparansi juga turut berkontribusi pada masalah korupsi kepala daerah, sebut Allen Sitohang yang juga salah satu tokoh pemuda Sumatera Utara itu. 


Mewujudkan biaya pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang ringan atau efisien merupakan salah satu fokus perbaikan sistem demokrasi di Indonesia. 


Beberapa pendekatan dan solusi telah diusulkan untuk mencapai tujuan ini, baik dari segi sistem dengan penyelenggaraan maupun regulasi seperti  Perubahan Sistem Pemilihan. 


Digitalisasi Proses Pilkada, Penguatan Regulasi Dana Kampany, Efisiensi Logistik dan Jadwal, Transparansi dan Akuntabilitas. Pada proses ini Meningkatkan transparansi yang akuntabilitas dalam pengelolaan dana Pilkada oleh penyelenggara (KPU dan Bawaslu) serta peserta pemilu dapat membantu mencegah pemborosan dan penyalahgunaan anggaran. 


Secara keseluruhan, untuk mencapai biaya Pilkada yang ringan di masa depan, diperlukan kombinasi dari efisiensi administratif, pemanfaatan teknologi, dan reformasi regulasi yang kuat untuk membatasi pengeluaran, baik oleh negara maupun oleh para kontestan politik kedepan. 

(JBR/15)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar