Banjir Bandang & Tanah Longsor: Bukti Nyata Pembalakan Hutan di Sumatera
Catatan: Taulim P. Matondang
Hiruk-pikuk, jerit tangis, dan kepanikan luar biasa kembali mewarnai sejumlah wilayah di Sumatera. Banjir bandang yang menerjang Sumatera Barat, Aceh, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, hingga merembet ke dataran rendah seperti Medan, seolah menjadi tamparan keras bahwa alam sudah kehilangan kesabarannya.
Menjelang akhir tahun 2025, Sumatera Utara dan wilayah sekitarnya dipaksa menyaksikan kenyataan pahit: air bah membawa gelondongan kayu, menghancurkan apa saja di hadapannya, dan menelan ratusan korban jiwa. Bencana ini bukan sekadar fenomena alam semata—tetapi potret buram atas ketidakpatuhan manusia terhadap hukum alam dan hukum negara.
Jeritan dari Tengah Air Bah
“Tolong, Pak Bupati… tolong kami…”
Teriakan itu terdengar seperti jeritan sakratul maut. Beberapa warga yang masih sempat mengabadikan detik-detik sebelum hanyut, memposting kondisi terakhir mereka di media sosial—suara penuh harap, tetapi tak tau ke mana harus mengungsi. Hujan deras, debit air sungai yang melonjak, dan ribuan batang kayu yang hanyut menjadi bukti telanjang bahwa ada yang sangat salah di hulu sana.
Akar Masalah: Pembalakan & Bobroknya Pengawasan
Sudah lama masyarakat Sumatera Utara menyampaikan aspirasi untuk menutup perusahaan-perusahaan yang dituding merusak hutan. PT Toba Pulp Lestari (TPL) menjadi nama yang paling sering disebut. Berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, masyarakat adat dan aktivis lingkungan bertahan di Medan menuntut pencabutan izin. Namun respons konkret tak kunjung datang.
Ketika harapan masih menggantung, bencana lebih dulu menghantam.
Pembalakan, baik legal maupun ilegal, telah menggerus benteng alami yang selama ini melindungi masyarakat. Penebangan tanpa reboisasi membuat tanah kehilangan daya resap, sungai kehilangan penyangga, dan lereng kehilangan kekuatan.
Inilah yang kemudian berubah menjadi banjir bandang dan longsor.
Pertanyaan yang Menggantung di Udara
Di mana Menteri Kehutanan?
Di mana Menteri PUPR?
Di mana Gubernur dan para Bupati?
Rakyat menanti jawaban, bukan sekadar kunjungan lapangan atau pernyataan belasungkawa.
Makna Pembalakan yang Sering Diabaikan
Pembalakan bukan sekadar menebang pohon. Ia adalah:
- Perubahan fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan, pertanian, perumahan, atau kepentingan komersial lain.
- Illegal logging, yaitu penebangan, pengangkutan, dan penjualan kayu tanpa izin.
Penebangan tanpa reboisasi, yang mengubah hutan menjadi tanah botak dan membuat air hujan tak lagi dapat ditahan.
Aktivitas ini bukan hanya merusak ekosistem: ia merampas masa depan masyarakat di sekitarnya.
Daftar Perusahaan yang Dikeluhkan
Selain PT TPL, sejumlah perusahaan lain juga mendapat keluhan warga:
- PT Jaya Beton di Medan Marelan – dugaan polusi udara yang memicu gangguan kesehatan.
- Pabrik kelapa sawit di Pulo Padang – bau busuk dan limbah mencemari lingkungan.
- PT AJP dan PT Lonsum di Batu Bara – polusi udara dan suara.
Namun tuntutan terbesar tetap mengarah ke PT TPL, hingga Gubernur Sumatera Utara menyatakan akan mengirim rekomendasi evaluasi ke pemerintah pusat. Sayangnya, ketika regulasi baru digodok, bencana sudah datang lebih dulu.
Potret Duka: Ratusan Jiwa Melayang
BNPB mencatat angka yang mengguncang:
Sumatera Utara, 166 meninggal dunia 143 masih hilang
Aceh, 47 meninggal dunia, 51 masih hilang
Sumatera Barat, 90 meninggal dunia, 85 masih hilang
Angka-angka ini bukan sekadar statistik. Itu adalah wajah-wajah keluarga yang hilang, harapan yang tenggelam, dan masa depan yang terputus.
Pencegahan: Kita Tak Boleh Terus Menjadi Penonton Kematian
Langkah jangka panjang
- Reboisasi besar-besaran
- Pengelolaan sampah dan sungai
- Tata ruang yang berpihak pada keselamatan
- Sistem drainase yang layak
- Terasering dan sumur resapan di kawasan rawan
Sebelum bencana
- Sistem peringatan dini
- Pemetaan risiko
- Edukasi masyarakat
Saat bencana
- Evakuasi cepat
- Menghindari daerah rawan susulan
- Melapor ke pihak berwenang
Bencana boleh datang dari langit, tetapi dampaknya diperparah oleh kelalaian manusia.
Penutup
Banjir bandang dan longsor yang menelan ratusan nyawa ini bukan sekadar musibah alam. Ia adalah peringatan keras. Alam telah memberikan sinyal berkali-kali, namun kita abai.
Ketika hutan ditebangi, sungai dipersempit, aturan dilanggar, dan aspirasi rakyat tak didengar—yang datang bukan hanya banjir, tetapi kehilangan, duka, dan tangis yang tak terbayar.
Semoga tulisan ini menjadi pengingat dan seruan agar pemerintah, pelaku industri, dan seluruh masyarakat melihat hutan bukan sebagai komoditas, tetapi sebagai penjaga kehidupan.
Salam : Elindonews.my.id






Tidak ada komentar:
Posting Komentar