Pelimpahan Kasus Dugaan Korupsi Pembangunan Panti Sosial Tahap II Dihentikan Kejari Medan

Publik Pertanyakan Transparansi Penegakan Hukum

Oleh: Erwin Simanjuntak ST


Di tengah janji besar pemerintah—di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto—untuk memberantas korupsi tanpa pandang bulu, publik kembali disuguhi ironi. Ketika semangat reformasi digemakan, termasuk pembenahan besar-besaran terhadap institusi Polri, justru di saat bersamaan muncul tanda tanya besar mengenai transparansi di tubuh Aparat Penegak Hukum, khususnya Kejaksaan.


Kasus dugaan korupsi Pembangunan Panti Sosial Tahap II Kota Medan menjadi satu contoh yang mencolok. Sebagai pelapor, penulis mengadukan dugaan penyimpangan yang diduga berpotensi menimbulkan kerugian negara. Laporan itu diterima Kejaksaan Tinggi Sumut, namun kemudian dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Medan—dan yang membuat publik terkejut, penanganannya dihentikan.


Hentinya perkara ini bukan sekadar keputusan administratif. Ia melahirkan tanda tanya baru, bahkan kecurigaan tentang apa yang sebenarnya terjadi di balik layar.


Rekomendasi BPK Menguap Tanpa Penjelasan


Dalam laporan pengaduan, penulis menguraikan secara detail indikasi-indikasi penyimpangan. BPK pun telah mengeluarkan rekomendasi tegas:

Pengembalian uang negara plus denda keterlambatan sebesar Rp4,13 miliar

Pencairan jaminan pelaksanaan sebesar Rp2,57 miliar

Total rekomendasi: Rp6,7 miliar


Namun hingga kini, rekomendasi tersebut belum sepenuhnya ditindaklanjuti sesuai ketentuan.


Yang paling mencurigakan adalah pembayaran progres pekerjaan sebesar 80%—yang dicairkan pada 30 Desember 2022—meski proyek belum selesai. Dengan pencairan mencapai Rp12,7 miliar, pembayaran itu bahkan tidak dipotong denda keterlambatan.


Indikasi Manipulasi Progres dan Proyek ‘Siluman’ Tahap III

Keanehan lain terjadi ketika sekitar 30% sisa pekerjaan Tahap II justru muncul kembali dalam Pembangunan Panti Sosial Tahap III, yang ditayangkan di RUP pada Februari 2023. Padahal, PT Betesda Mandiri (PT BM) masih bekerja di lokasi Tahap II.


Kondisi ini menimbulkan dugaan kuat:

1. Progres Tahap II tidak mungkin mencapai 80%.

2. Ada selisih progres yang dipaksakan, diduga mencapai 10% dari pagu.

3. Progres pekerjaan yang muncul dalam laporan dinilai tidak wajar, bahkan terindikasi manipulatif.


Kontrak dengan PT BM diputus pada Maret 2023. Namun yang lebih mengejutkan, perusahaan tersebut tidak dikenakan sanksi blacklist—padahal kegagalan penyelesaian pekerjaan, sesuai aturan LKPP dan Perpres Pengadaan, lazimnya otomatis berujung masuk daftar hitam.


Pertanyaan Publik yang Tak Terjawab

Meski dugaan-dugaan penyimpangan ini begitu terang benderang, Kejaksaan Negeri Medan menghentikan proses penyelidikan tanpa penjelasan memadai. Melalui pemberitaan media, PPK terkait menyebut bahwa Rp3,5 miliar telah dikembalikan ke kas Pemko Medan. Namun publik bertanya:


Bagaimana dengan sisa rekomendasi BPK?

Apa dasar hukum penghentian perkara?

Di mana transparansi proses penanganannya?

Apakah ada conflict of interest?

Siapa yang bertanggung jawab atas selisih progres dan potensi kerugian negara?


Keputusan penghentian perkara ini dinilai publik sebagai langkah janggal di tengah semangat pemberantasan korupsi yang digelorakan pemerintah pusat. Bagi masyarakat, kasus ini bukan sekadar angka kerugian negara—tetapi soal kepercayaan terhadap lembaga penegak hukum.


Apakah hukum berdiri untuk semua? Atau hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas?

Pertanyaan itu kini menggantung di benak banyak orang.

Redaksi: Elindonews.my.id


#presidenprabowo #jaksaagungri #kejatisu #kejarimedan #mahkamahagungri #adminpartaigerindra #fyp



Tidak ada komentar:

Posting Komentar