Mengenal Tanggung Jawab Renteng dalam PPN
Ray M. Sommerfeld pendiri dan presiden “American Taxation Association (ATA)” mengatakan “A tax can be defined meaningfully as any non penal yet compulsory transfer of resources from the private to the public sector, levied on the basis of predetermined criteria and without receipt of a specific benefit of equal value, in order to accomplish some of a nation’s economic and social objectives.” Bahwasanya pajak dipungut berdasarkan kriteria yang telah ditentukan dan tanpa penerimaan manfaat tertentu yang nilainya setara, guna mencapai beberapa tujuan ekonomi dan sosial suatu negara. Demikian juga hal tanggung jawab renteng atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dimana pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar.
Sejarah & Dasar Hukum Tanggung Jawab Renteng
UU KUP Nomor 16 Tahun 2000
Berawal dari pasal 33 UU KUP No. 16 Tahun 2000 menyebutkan “Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya bertanggungjawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar.” dengan penjelasan “Sesuai dengan prinsip beban pembayaran pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pada pembeli atau konsumen barang atau penerima jasa.
Oleh karena itu sudah seharusnya apabila pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa bertanggung jawab renteng atas pembayaran pajak yang terutang apabila ternyata bahwa pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual atau pemberi jasa.”
UU KUP Nomor 28 Tahun 2007
Kemungkinan, karena substansi dalam pasal ini sudah masuk ke hal material (bukan formal) maka ketentuan tentang tanggung jawab renteng yang sebelumnya diatur dalam pasal 33 dihapus dalam UU KUP perubahan ketiga yaitu UU nomor 28 Tahun 2007 yang berlaku sejak 17 Juli 2007.
UU PPN 1984
Kenyataannya, ada jedah sekitar 3 (tiga) tahun sampai munculnya penambahan pasal dalam UU PPN No. 42 tahun 2009 ( terakhir melalui UU No 7 Tahun 2021) perubahan ketiga yang berlaku sejak 1 April 2010 yaitu pasal 16F yang menyebutkan “Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa Pajak telah dibayar.” dengan penjelasan “Sesuai dengan prinsip beban pembayaran pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pada pembeli atau konsumen barang atau penerima jasa.
Oleh karena itu sudah seharusnya apabila pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa bertanggung jawab renteng atas pembayaran pajak yang terutang apabilan ternyata bahwa pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual atau pemberi jasa.”
Dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2022 tentang Penerapan Terhadap Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dibahas tentang tanggung jawab renteng yang menyebutkan sebagai berikut:
1. Pembeli atau Penerima Jasa bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, diberlakukan dalam hal:
a. pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual Barang Kena Pajak atau pemberi Jasa Kena Pajak;
b. Pembeli atau Penerima Jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual Barang Kena Pajak atau pemberi Jasa Kena Pajak.
2. Tanggung jawab secara renteng atas pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dilakukan oleh Pembeli atau Penerima Jasa dengan melakukan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang menggunakan surat setoran pajak.
3. Tanggung jawab secara renteng dapat ditagih melalui penerbitan surat ketetapan pajak kurang bayar atau surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dalam hal Pembeli atau Penerima Jasa tidak atau kurang melakukan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Peristiwa & Anomali Tanggung Jawab Renteng
PKP Penjual
Pengusaha Kena Pajak (PKP) PT. Nusacyber Teknologi pada tahun 2025 dilakukan pemeriksaan Jenis Pajak PPN untuk masa Januari s.d. Desember 2024. Ditemukan bahwa PKP PT. Nusacyber Teknologi melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak kepada PT. Nusa Tax Consulting dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) sebesar Rp. 250.000.000,- namun tidak membuat faktur pajak. Maka PT. Nusacyber ditetapkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPN dan Surat Tagihan Pajak atas sanksi tidak membuat faktur pajak (1% dikalikan DPP).
PKP Pembeli
Pada tahun 2026, PKP PT. Nusa Tax Consulting diperiksa oleh DJP untuk masa Januari s.d. Desember 2024, ditemukan fakta bahwa PT. Nusa Tax Consulting menggunakan Jasa PT. Nusacyber Teknologi. Karena PT. Nusa Tax Consulting tidak dapat menunjukkan Faktur Pajak telah membayar PPN maka pemeriksa sesuai dengan amanat UU tanggung jawab renteng dengan menerbitkan SKPKB.
Walaupun dalam PP 44 Tahun 2022 di atas disebutkan bahwa tanggung jawab renteng “tidak diberlakukan dalam hal pajak yang terutang tersebut dapat ditagih kepada penjual barang atau pemberi jasa”, hal ini kemungkinan akan sulit dideteksi oleh pembeli.
Karena ketentuan tanggung jawab renteng berlaku bagi pihak pembeli maupun penjual (sebagaimana contoh di atas) menimbulkan ketidak adilan pajak karena bertentangan dengan karakteristik PPN itu sendiri yang mengatakan bahwa “PPN tidak menimbulkan dampak pengenaan pajak berganda” sementara dalam kasus ini “berdasarkan contoh” akhirnya baik penjual maupun pembeli dikenakan PPN atas objek yang sama.
Penutup
Dalam pasal 4 ayat (5) PP 44 tahun 2022 disebutkan bahwa tata cara dan mekanisme pelaksanaan tanggung jawab secara renteng atas pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Apakah nanti anomali sebagaimana diuraikan di atas akan dituntaskan dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan maka mari sama-sama kita nantikan, bila itupun tidak terjadi ada baiknya setiap Pengusaha Kena Pajak untuk melakukan pengawasan secara intensif agar setiap transaksi untuk membuat faktur pajak (commercial invoice) dan memungut Pajak Pertambahan Nilai. Sehingga apa yang disampaikan oleh Ray M. Sommerfeld bahwasanya pajak dipungut berdasarkan kriteria yang telah ditentukan, guna mencapai beberapa tujuan ekonomi dan sosial suatu negara dengan cara yang baik dan elegan.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Redaksi : Elindonews.my.id






Tidak ada komentar:
Posting Komentar