Faktur Pajak Tidak Sah Langsung Diblokir DJP, Ini Aturan Terbaru 2025
Medan | Elindonews.my.id
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengeluarkan aturan baru untuk memberantas maraknya penerbitan dan/atau penggunaan Faktur Pajak tidak sah yang merugikan negara. Melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-9/PJ/2025 yang ditandatangani Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo pada 22 Mei 2025, otoritas pajak kini berwenang menonaktifkan akses penerbitan Faktur Pajak tanpa menunggu proses panjang.
Aturan ini muncul karena kerugian pendapatan negara akibat penyalahgunaan Faktur Pajak. Dua jenis pelanggaran utama yang dibidik adalah penerbitan dan/atau penggunaan Faktur Pajak yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya, serta penerbitan Faktur Pajak oleh pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Regulasi terbaru ini menggantikan mekanisme "suspend" dalam aturan lama. DJP sekarang memiliki wewenang yang lebih tegas untuk bertindak cepat mencegah kerugian negara sekaligus memberi efek jera bagi pelaku.
Kriteria PKP yang Terkena Pemblokiran Akses Faktur Pajak
Peraturan ini membagi target pengawasan menjadi dua kategori. Pertama, Wajib Pajak Terindikasi Penerbit, adalah PKP yang menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak pengukuhan PKP yang memiliki indikasi menerbitkan Faktur Pajak Tidak Sah. Kedua, Wajib Pajak Terindikasi Pengguna, adalah PKP yang menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak pengukuhan PKP yaitu menggunakan Faktur Pajak Tidak Sah yang diterbitkan oleh Wajib Pajak Terindikasi Penerbit dan/atau Wajib Pajak Penerbit, dan mengkreditkan sebagai faktur pajak masukan.
Dalam rangka menonaktifkan akses pembuatan Faktur Pajak Tidak Sah tersebut, DJP akan melakukan pengembangan dan analisis berdasarkan dua kriteria utama untuk menentukan Wajib Pajak Terindikasi Penerbit. Kriteria pertama adalah keberadaan dan kewajaran lokasi usaha Wajib Pajak. Kriteria kedua adalah kesesuaian kegiatan usaha yang dijalankan Wajib Pajak dengan kegiatan usaha yang dilaporkan.
Bila salah satu atau kedua kriteria tidak terpenuhi, maka DJP langsung menonaktifkan akses pembuatan Faktur Pajak. Kegiatan ini dilakukan oleh Petugas Intelijen Perpajakan yang punya kemampuan khusus dalam menganalisis data dan informasi perpajakan, serta sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai intelijen perpajakan.
Untuk Wajib Pajak Terindikasi Pengguna, DJP melakukan pengembangan dan analisis atas indikasi pengkreditan pajak masukan yang tercantum dalam Faktur Pajak Tidak Sah pada Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Pertambahan Nilai. Bila diketahui bahwa Wajib Pajak Terindikasi Pengguna mengkreditkan pajak masukan yang tercantum dalam Faktur Pajak Tidak Sah tersebut, maka akses pembuatan Faktur Pajak juga akan dinonaktifkan atau diblokir.
Cara Mengajukan Klarifikasi dan Syarat Dokumen yang Dibutuhkan
Wajib pajak yang terkena pemblokiran tidak langsung divonis bersalah. Wajib Pajak dapat menyampaikan klarifikasi mengenai kondisi sebenarnya. Pemberitahuan tentang penonaktifan akses dan hak klarifikasi akan disampaikan secara elektronik sesuai sistem administrasi perpajakan terkini.
Sejak tanggal pemberitahuan mengenai penonaktifan akses pembuatan Faktur Pajak diterima, Wajib Pajak tidak dapat menerbitkan Faktur Pajak. Tetapi Wajib Pajak diberi kesempatan untuk menyampaikan klarifikasi langsung ke Kantor Wilayah DJP yang menaungi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar.
Klarifikasi harus disampaikan langsung oleh Wajib Pajak atau pengurus dan/atau oleh penanggung jawab Wajib Pajak, dan tidak diperkenankan untuk dikuasakan kepada pihak lain. Ini untuk memastikan kebenaran informasi dan mencegah manipulasi data. Selain itu, klarifikasi juga harus disampaikan secara tertulis, yang memuat nomor dan tanggal surat atau dokumen klarifikasi, tujuan surat atau dokumen klarifikasi, identitas Wajib Pajak atau pengurus dan/atau penanggung jawab, penjelasan atas klarifikasi yang dilakukan, dan daftar dokumen pendukung klarifikasi.
Dokumen pendukung yang harus dilampirkan cukup lengkap. Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi, harus melampirkan fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga bagi Warga Negara Indonesia atau Paspor yang masih berlaku bagi Warga Negara Asing yang dilegalisasi, surat keterangan tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari pejabat pemerintah daerah minimal dari Lurah atau Kepala Desa, foto berwarna yang menunjukkan lokasi/tempat dan kegiatan usaha Wajib Pajak, daftar pemasok (supplier list) selama 1 (satu) tahun terakhir, rekening koran asli dan bukti penerimaan/pengeluaran pembayaran selama 1 (satu) tahun terakhir, serta dokumen transaksi seperti purchase order, surat jalan (delivery order), berita acara serah terima barang dan/atau berita acara penyelesaian pekerjaan selama 1 (satu) tahun terakhir.
Wajib Pajak Badan persyaratannya serupa dengan tambahan fotokopi akta pendirian atau dokumen pendirian dan perubahan bagi Wajib Pajak badan dalam negeri atau surat keterangan penunjukan dari kantor pusat bagi bentuk usaha tetap, yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang. Semua dokumen harus mencakup periode 12 (dua belas) bulan terhitung sampai tanggal pemberitahuan mengenai penonaktifan akses pembuatan Faktur Pajak disampaikan.
Kepala Kantor Wilayah DJP dapat meminta keterangan tambahan kepada Wajib Pajak, pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak pada saat penyampaian klarifikasi, dan dapat melakukan penelitian langsung ke lokasi usaha Wajib Pajak untuk meyakini keberadaan dan kewajaran lokasi usaha Wajib Pajak, serta memastikan kesesuaian kegiatan usaha Wajib Pajak dengan data yang disampaikan oleh Wajib Pajak.
Proses Keputusan Klarifikasi dan Konsekuensi Hukumnya
Kepala Kantor Wilayah DJP harus memutuskan mengabulkan atau menolak klarifikasi dalam waktu maksimal 30 (tiga puluh) hari kalender sejak dokumen klarifikasi diterima. Bila klarifikasi dikabulkan, maka akses pembuatan Faktur Pajak Wajib Pajak akan diaktifkan kembali.
Klarifikasi bisa dikabulkan dalam beberapa kondisi. Untuk Wajib Pajak Terindikasi Penerbit, klarifikasi dikabulkan bila dilakukan penghentian Penyidikan terkait penerbitan Faktur Pajak Tidak Sah sesuai Pasal 44B Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Klarifikasi juga dikabulkan bila berdasarkan hasil pemeriksaan, Pemeriksaan Bukti Permulaan, Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, atau putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, Wajib Pajak dinyatakan tidak terbukti sebagai Wajib Pajak Terindikasi Penerbit.
Untuk Wajib Pajak Terindikasi Pengguna, klarifikasi dikabulkan bila Wajib Pajak menyampaikan pembetulan SPT yang terkait dengan dasar penonaktifan akses pembuatan Faktur Pajak, melakukan pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT yang terkait dengan dasar penonaktifan akses pembuatan Faktur Pajak, atau melunasi utang pajak atas surat ketetapan pajak yang merupakan koreksi terkait dengan dasar penonaktifan akses pembuatan Faktur Pajak.
Klarifikasi juga dikabulkan bila dilakukan penghentian Pemeriksaan Bukti Permulaan karena Wajib Pajak melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan terkait penggunaan Faktur Pajak Tidak Sah, dilakukan penghentian Penyidikan terkait penggunaan Faktur Pajak Tidak Sah, atau bila berdasarkan proses hukum dinyatakan tidak terbukti sebagai Wajib Pajak Terindikasi Pengguna Faktur Pajak Tidak Sah.
Bila klarifikasi Wajib Pajak ditolak, konsekuensinya berat. DJP akan melakukan pencabutan pengukuhan PKP secara jabatan. Pencabutan pengukuhan PKP secara jabatan juga dilakukan bila Wajib Pajak tidak menyampaikan klarifikasi dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak pemberitahuan mengenai penonaktifan akses pembuatan Faktur Pajak secara elektronik diterima.
Namun, apabila Kepala Kantor Wilayah DJP melewati batas waktu 30 (tiga puluh) hari tanpa memberikan keputusan, klarifikasi otomatis dianggap dikabulkan. Ketentuan ini memberi kepastian hukum dan mencegah Wajib Pajak terjebak dalam ketidakpastian administratif.
Aturan Peralihan dan Dampak bagi Pengusaha Kena Pajak
Peraturan baru ini mencabut Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2017 beserta perubahannya dalam PER-16/PJ/2018 tentang Perlakuan Terhadap Penerbitan dan Penggunaan Faktur Pajak Tidak Sah. Namun, Wajib Pajak yang pada saat peraturan baru berlaku masih punya status suspend akan tetap ditindaklanjuti berdasarkan peraturan lama hingga prosesnya selesai.
DJP juga memberi ruang fleksibilitas. Bila berdasarkan data dan/atau informasi yang dimiliki DJP diketahui bahwa PKP tidak memenuhi kriteria penonaktifan akses pembuatan Faktur Pajak, Kepala Kantor Wilayah DJP dapat mengaktifkan kembali akses pembuatan faktur Pajak Wajib Pajak.
Regulasi ini menegaskan komitmen pemerintah dalam menjaga integritas sistem perpajakan. Dengan pendekatan berbasis intelijen dan data, DJP berupaya menutup celah penyalahgunaan Faktur Pajak yang selama ini merugikan penerimaan negara.
Bagi pengusaha yang beritikad baik, aturan ini justru memberi perlindungan. Mereka tidak perlu khawatir terseret dalam praktik ilegal karena mekanisme klarifikasi memberi ruang untuk pembuktian. Yang terpenting adalah menjaga kelengkapan dokumen transaksi dan memastikan semua kegiatan usaha sesuai dengan pelaporan pajak.
Transparansi dan kepatuhan jadi kunci dalam menghadapi pengawasan yang kian ketat ini. Wajib Pajak perlu memastikan lokasi usaha jelas, kegiatan operasional sesuai dengan yang dilaporkan, dan semua transaksi didukung bukti yang memadai. Dengan begitu, tidak ada yang perlu dikhawatirkan meski pengawasan kian intensif.
Redaksi.






Tidak ada komentar:
Posting Komentar